Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, ia memiliki karakter yang unik –berbeda satu dengan yang lain, bahkan kalaupun merupakan hasil cloning, dengan pikiran dan kehendaknya yang bebas. Dan sebagai makhluk sosial ia membutuhkan manusia lain, membutuhkan sebuah kelompok –dalam bentuknya yang minimal, yang mengakui keberadaannya, dan dalam bentuknya yang maksimal- kelompok di mana dia dapat bergantung kepadanya.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya.
Demikian pula orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan mengupahnya.Demikianlah seterusnya. Allah SWT berfirman yang artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu?Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(Az-Zukhruf: 32).
Aristoteles mengkatagorikan manusia ke dalam “Zoon Politicon” yang berarti manusia adalah makhluk yang ingin selalu bergaul dan berkumpul. Jadi manusia adalah makhluk yang bermasyarakat. Oleh karena sifat suka bergaul dan bermasyarakat itulah manusia dikenal sebagai makhluk sosial.
Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial bukan bermaksud untuk menegaskan ide tentang kewajiban manusia untuk bersosialisasi dengan sesamanya, melainkan ide tentang makhluk sosial terutama bermaksud menunjuk langsung pada kesempurnaan identitas dan jati diri manusia.
Menurut pandangan Islam, manusia secara etimologi disebut juga insan yang dalam bahasa Arabnya berasal dari akar kata nasiya yang berarti lupa. Dan jika dilihat dari akar kata al-uns maka kata insan berarti jinak. Dari kedua akar kata tersebut kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak.
Dalam arti, manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Keberadaan manusia sangat nyata sekali berbeda dengan makhluk yang lainnya. Seperti dalam kenyataannya manusia adalah makhluk yang berjalan di atas dua kaki dan memiliki kemampuan untuk berfikir.
Sedangkan berfikir itu sendiri merupakan sifat dasar dari manusia yang menentukan hakekat manusia itu sendiri dan mebedakannya dengan makhluk lainnya. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkannya sehingga berbeda dengan makhluk yang lain.
Hasil karya manusia itu dapat dilihat dalam setting sejarah dan setting psikologis, geografis, situasi emosional dan intelektual yang melatarbelakangi hasil karyanya. Dari hasil karya yang dibuat manusia tersebut, menjadikan ia sebagai makhluk yang menciptakan sejarah.
Pengertian sosial menurut para ahli (Paul Ernes dan Enda M.C) adalah “Hubungan individu dalam sebuah komunitas dan bagaimana cara mereka menjalin hubungan antar sesama dalam berbagai kegiatan bersama dan hubungan ini merupakan inti dari sebuah interaksi di antara mereka di lingkungan masing-masing dan tidak terikat oleh sebuah pola tertentu”.
Karena sosial merupakan cara manusia berhubungan dengan sesama dalam berbagai kegiatan, maka seiring dengan perkembangan budaya manusia, sifat sosial juga mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan pranata-pranata yang timbul berdasarkan tujuan atau kegiatan yang telah disepakati bersama oleh mereka.
Menurut Koentjarainingrat, dalam kehidupan masyarakat, banyak sekali terdapat pranata-pranata sosial. Keanekaragaman pranata-pranata sosial tersebut berbeda-beda antara orang satu dengan yang lainnya dalam sebuah komunitas.
Menurutnya, ada delapan macam pranata sosial, yaitu sebagai berikut: Pertama, Pranata sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, misalnya keluarga. Kedua, Pranata sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mata pencaharian, misalnya pertanian. Ketiga, Pranata sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan pendidikan, seperti lembaga-lembaga pendidikan. Keempat, Pranata sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, misalnya ilmu pengetahuan. Kelima, Pranata sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan rohani-batiniah dalam menyatakan rasa keindahan dan rekreasi, misalnya seni rupa, seni lukis. Keenam, Pranata sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau alam ghaib, misalnya masjid, gereja, pura, wihara. Ketujuh, Pranata sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan untuk mengatur kehidupan berkelompok-kelompok/bernegara, misalnya pemerintahan, partai politik. Delapan, Pranata sosial yang bertujuan mengurus kebutuhan jasmani manusia, misalnya pemeliharaan kesehatan dan kecantikan.
Manusia berperan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial yang dapat dibedakan melalui hak dan kewajibannya. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena manusia merupakan bagian dari masyarakat. Hubungan manusia sebagai individu dengan masyarakatnya terjalin dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan.
Oleh karena itu harkat dan martabat setiap individu diakui secara penuh dalam mencapai kebahagiaan bersama. Masyarakat merupakan wadah bagi para individu untuk mengadakan interaksi sosial dan interelasi sosial.
Interaksi merupakan aktivitas timbal balik antar individu dalam suatu pergaulan hidup bersama. Interaksi dimaksud, berproses sesuai dengan perkembangan jiwa dan fisik manusia masing-masing serta sesuai dengan masanya dari mulai interaksi non formal seperti berteman dan bermasyarakat sampai interaksi formal seperti berorganisasi, dan lain-lain.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi manusia hidup bermasyarakat, yaitu; faktor alamiah atau kodrat Tuhan; faktor saling memenuhi kebutuhan; dan faktor saling ketergantungan. Keberadaan semua faktor tersebut dapat diterima oleh akal sehat setiap manusia, sehingga manusia itu benar-benar bermasyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Khaldun bahwa hidup bermasyarakat itu bukan hanya sekadar kodrat Tuhan melainkan juga merupakan suatu kebutuhan bagi jenis manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jika tingkah laku timbal balik (interaksi sosial) itu berlangsung berulang kali dan terus-menerus, maka interaksi ini akan berkembang menjadi interelasi sosial. Sementara interelasi sosial dalam masyarakat akan tampak dalam bentuk suatu perasaan hidup bersama, sepergaulan, dan selingkungan yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan yang beradab, kekeluargaan yang harmonis dan kebersatuan yang mantap.
Dengan demikian tidak setiap kumpulan individu merupakan masyarakat. Dalam kehidupan sosial terjadi bermacam-macam hubungan atau kerjasama, antara lain hubungan antar status, persahabatan, kepentingan, dan hubungan kekeluargaan. Sebagai makhluk sosial, manusia dikaruniai oleh Sang Pencipta antara lain sifat rukun sesama manusia.
Dari uraian di atas, bila ditinjau dari perspektif Islam, baik dari aspek normatif maupun interaktif pengamalan syariat. Pandangan itu secara garis besarnya adalah: Pertama, Penciptaan manusia, bahkan semua makhluk ciptaan-Nya secara berpasangan, memberikan makna adanya saling ketergantungan, hidup bersama, saling berinteraksi dan berinterelasi. Kedua, Nilai-nilai dalam pelaksanaan ibadah shalat berjamaah, puasa, zakat dan haji juga memberikan pelajaran bahwa manusia secara kodrati dituntut untuk empati terhadap sesama. Jadi, sosialitas merupakan kodrat manusia dalam mengarungi kehidupannya. Mereka tidak bisa hidup sendirian.
Mereka memerlukan yang lain untuk hidup dalam kebersamaan, belajar bersama dalam kehidupan sebagai manusia, mencari kesempurnaan dirinya dalam tata kehidupan bersama. Sebuah kepribadian dari individu-individu dalam komunitas sosialnya akan mencapai kepunahannya jika manusia tidak mampu menerima kehadiran sesama di lingkungannya untuk mencapai tujuan hidup bersama.
Hidup bersama ada secara natural karena masing-masing pribadi menghendakinya. Masing-masing pribadi menghendakinya karena sadar bahwa kesempur- naan dirinya hanya tercapai melalui kebersamaanya dengan manusia yang lain. Hidup bersama ada pertama-tama untuk memenuhi kehendak dan tujuan setiap pribadi manusia guna menyempurnakan dirinya.
Inilah yang dimaksud good life, yakni teraktualisasikannya kesempurnaan hidup masing-masing individu manusia dalam konteks hidup bersama. Inilah inti pandangan Islam terhadap manusia dalam kontek kehidupannya sebagai makhluk sosial.
Dalam rangka menjalin hubungan sosial dalam maknanya yang umum -ada tiga konseptual yang perlu diperhatikan. Pertama, Ta’aruf. Ta’aruf (saling mengenal), dalam rangka mewujudkannya, kita perlu mengenal orang lain, baik fisiknya, pemikiran, emosi dan kejiwaannya. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat:13).
Ta’aruf perlu dilakukan dari lingkungan yang terdekat dengan kita; keluarga, lingkungan sekolah atau tempat bekerja, hingga berta’aruf dalam komunitas yang lebih luas.
Di era sekarang masalah ta’aruf hampir kurang mendapat perhatian, terlebih di wilayah perkotaan. Orang-orang sibuk memikirkan kepentingan pribadi dan tidak memperdulikan lingkungan sekitarnya seperti yang bisa dilihat di daerah perumahan (real estate) semua hidup dengan serba individualistik. Kedua, tafahum.
Pada tahap tafahum (saling memahami), kita tidak sekedar mengenal saudara kita, tapi terlebih kita berusaha untuk memahaminya. Sebagai contoh jika kita telah mengetahui tabiat seorang rekan yang biasa berbicara dengan nada keras, tentu kita akan memahaminya dan tidak menjadikan kita lekas tersinggung.
Juga apabila kita mengetahui tabiat rekan lain yang sensitif, tentu kita akan memahaminya dengan kehati-hatian dalam bergaul dengannya. Perlu diperhatikan bahwa tafahum ini merupakan aktivitas dua arah. Jadi jangan sampai kita terus memposisikan diri ingin dipahami orang tanpa berusaha untuk juga memahami orang lain. Ketiga, Ta’awun. Ta’awun (tolong-menolong) merupakan aktivitas yang sebenarnya secara naluriah sering (ingin) kita lakukan.
Manusia normal umumnya telah dianugerahi oleh Allah perasaan iba dan keinginan untuk menolong sesamanya yang menderita kesulitan –sesuai dengan kemampuannya. Hanya saja derajat keinginan ini berbeda-beda untuk setiap individu. Dalam surat Al Maidah, Allah berfirman, yang artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al Maidah:2)
Aktivitas-aktivitas sosial yang memang merupakan seruan Islam harus dilaksanakan supaya kohevitas sosial terjaga, maka hal-hal berikut perlu diperhatikan: Pertama, Silaturrahim. “Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Bukhari, Muslim). Kedua, Memuliakan tamu. Menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim). Ketiga, Menghormati tetangga.
Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim). Hal-hal yang dapat dilakukan untuk memuliakan tetangga, diantaranya: Menjaga hak-hak tetangga, tidak mengganggu tetangga, berbuat baik dan menghormatinya, mendengarkan mereka, mendakwahi mereka dan mendo’akannya, dst. Keempat, Saling mengunjungi. Rasulullah SAW, sering mengunjungi para sahabatnya. Hal Ini menunjukkan betapa hal ini memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat. Kelima, Peduli dengan aktivitas sosial. “Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad). Keenam,
Memberi bantuan sosial. Orang-orang lemah/mustadl’afin mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam Islam. Kita diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al Ma’un: 1-3). Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut umatnya untuk menyadari kodratnya sebagai makhluk sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa wujud nyata atau buah dari seorang mukmin yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan sosial.
Seorang yang menyatakan diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan, menyajikan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Jika setiap orang yang beriman rajin melakukan hal ini, maka tatanan sosial yang dicita-citakan oleh ilmuwan-ilmuwan sosial niscaya
terwujud. Semoga. Aamiin.
download artikel
sumber : http://palembang.tribunnews.com/2018/07/27/esensi-manusia-sebagai-makhluk-sosial[:]