Palembang, 16 Agustus 2016, Fakultas Adab dan Humaniora (FAHUM) UIN Raden Fatah Palembang mengadakan Seminar Kebudayaan dengan tema “Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Sastra Tutur di Sumatera Selatan”, bertempat di lantai tiga ruang Aula FAHUM. Dalam seminar tersebut hadir dua orang pembicara sebagai narasumber, yakni Bapak Vebri Al-Lintani (Dewan Kesenian Sumatera Selatan) dan Ibu Yeni Mastuti dari Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Acara seminar dipandu oleh Dr. Yawardi, M.Ag. -dosen tetap FAHUM- yang bertindak sebagai moderator. Acara ini merupakan realisasi kerjasama antara Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan dengan universitas-universitas yang ada di Palembang. Kali ini Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah yang mendapat giliran itu.
Acara yang berlangsung dari pukul 09.00 – 12.00 itu, dihadiri Dekanat FAHUM, dan beberapa dosen sebagai peserta. Acara juga dihadiri oleh perwakilan dari Balai Bahasa dan perwakilan dari perguruan tinggi yang terlibat dalam kerja sama ini, seperti: UNSRI, Universitas PGRI Palembang, Universitas Tridinanti, Universitas Taman Siswa Palembang, Universitas Muhammadiyah Palembang, Universitas Bina Dharma Palembang dan lain-lain. Mengingat acara ini penting bagi dunia pendidikan, maka panitia juga mengundang beberapa sekolah tingkat menengah yang ada di Palembang.
Seperti yang dilaporkan oleh Ketua Pelaksana Seminar, Drs. Masyhur, M.Ag., dalam sambutannya bahwa diadakannya seminar kebudayaan dengan tema tersebut, karena semakin tergerusnya budaya sastra tutur yang ada di Sumatera Selatan. Padahal, sastra tutur seperti ini mengandung kearifan lokal yang dapat membentuk karakter bangsa. Menurutnya, selama ini, sastra tutur hanya ramai dibicarakn dalam forum-forum diskusi dan seminar, dan belum ada tindak lanjut dari pemerintah sebagai salah satu bahan pertimbangan pembangunan. Usulan sastra tutur sebagai bagian dari pelajaran muatan lokal belum dapat diwujudkan.
Selnjutnya, dalam sambutannya, Dekan FAHUM, Dr. Nor Huda Ali, M.A., mengatakan bahwa tema ini masih sangat penting didiskusikan. Pembentukan karakter bangsa yang bersumber dari bilai-nilai kelokalan harus terus digali dan dilestarikan. Saat ini ada fenomena meningkatnya kenakalan remaja karena semakin hilangnya kearifan lokal dari masyarakatnya. Menurutnya, paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan semakin tereduksinya nilai-nilai lokal seperti sastra tutur ini: [1] perubahan ekonomi, [2] sosial, [3] budaya, dan [4] politik.
[1] Perubahan ekonomi dari pertanian ke industri perkebunan telah menyita waktu orang tua dalam keluarga. Keluarga pekebun ini, sudah harus berangkat ke kebun sebelum adzan Shubuh dan baru pulang ke rumah lagi menjelang atau sesudah adzan Maghrib. Dalam kondisi seperti ini, anak-nak sering ditinggal tanpa pengawasan yang memadai.
[2] perubahan sistem pendidikan yang lebih mementingkan aspek kognitif. Ukuran keberhasilan sering banyak dilihat dari aspek ini. Sementara itu, aspek pembentukan watak dan sikap (afektif) sering diabaikan, untuk mengatakan dihilangkan.
[3] Derasnya arus teknologi informasi telah menekan budaya lokal yang sering dipandang sinis. Arus deras ini tidak mampu dibendung oleh kebudayaan lokal yang memang tidak siap dengan globalisasi.
[4] Politik atau kebijakan pemerintah yang belum atau tidak maksimal dalam menangani masalah seperti ini. Politik pendidikan yang kurang peduli dengan muatan lokal harus segera diubah. Agar Indonesia memiliki karakter bangsa yang khas, maka politik pendidikan harus memihak kepada kearifan local. Bukankah budaya menunjukkan bangsa?
Bapak Vebri Al-Lintani sebagai narasumber pertama mempresentasekan sastra tutur dari daerah Basemah, yakni “Peseona Tadud dalam Gelombang Perubahan”. Tadut adalah salah satu sastra tutur Basemah jenis puisi. Istilah tadud ini biasanya dipakai oleh para pendakwah Islam menyampaikan ajaran-ajaran Islam melalui sastra tutur yang berirama, atau dalam suatu kelompok pengajian disebut dengan bepu’uan. Sebelum tadud, ada tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Basemah untuk menghibur orang-orang yang terkena musibah selama tujuh hari berturut-turut, tradisi itu dikenal dengan nama guritan. cerita yang disampaikan adalah cerita seorang tokoh yang sakti bernama Raden Suane yang tidak berdasarkan Islam. Setelah Islam masuk ke daerah Basemah, tradisi guritan diganti dengan tadut yang isinya disesuaikan dengan ajaran Islam. Karena masyarakat Basemah menyukai syair-syair dan kesenian sastra tutur, maka lamban laun mereka bisa dan terbiasa dengan tradisi tadut yang menggantikan guritan. Namun, sejak 1960-an tadut sudah tidak digunakan lagi, posisinya digantikan dengan tahlillan.
Selain menjelaskan tentang tadut, Bapak Vebri juga menyampaikan cara betadut. Tadutitu sendiri ada beberapa jenis: ada tadut tentang rukun Islam, tadut pantun, tadut samarukin, tadut sejemahat, dan lain sebagainya. Melihat tadut sekarang kehilangan pendukung, tadut hanya dipakai sebagai sebuah pertunjukan, bukan lagi sebagai media pendidikan. Ia menyampaikan harapannya kepada pemerintah daerah dan para pecinta budaya sastra tutur, agar berupaya melakukan revitalisasi (penguatan) kembali tadut dengan cara kemaun politk (good wiil) dari pemerintah. Artinya pemerintah membuat Perda khusus untuk penguatan tentang sastra tutur yang ada di Sumatera Selatan ini umumnya, dan tadut khususnya. Langkah selanjutnya adalah dengan memperaktikan di sekolah-sekolah, dan memberikan pelatihan bagi kader-kader yang dianggap mampu betadut. Di akhir presentase, ia mempraktekan cara betadut lengkap dengan peralatan yang diperlukan. Adapun tadut yang dipraktikannya adalah tadut samarukin dengan irama yang merdu.
Selanjutnya, Ibu Yeni Mastuti sebagai narusumber kedua menyampaikan materi tentang “Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Dang-Idang Masyarakat Kayu Agung”. Di era globalisasi saat ini fenomena degradasi moral kerap bermunculan, hal ini disebabkan oleh tuntutan zaman yang serba instan. Tradisi mendongeng untuk menidurkan buah hati telah tergantikan dengan menonton televisi secara berjama’ah, sehingga beliau merasa perlu untuk menyampaikan tema ini. Dang-Idang adalah sejenis pantun yang dimiliki oleh masyarakat Kayu Agung yang terdiri dari empat baris. Dang-Idang sendiri termasuk ke dalam jenis puisi lama. Tema ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Ibu Yeni, ia ingin mengidentifikasi dan mendeskripsikan pendidikan karakter yang terdapat di dalam sastra tutur Dang-Idang. Sastra tutur semacam ini biasanya digunakan untuk menidurkan anak kecil dengan irama tertentu. Masyarakat Kayu Agung bekerja sambil mengajak anak-anak mereka. Saat hendak tidur, anak mereka dimasukan ke dalam buai, dan mulailah mereka bersyair, atau dalam bahasa setempat disebut dengan bekindun. Isi dari dang-idangtersebut adalah tentang kebaikan, seperti religius, kerja keras, mandiri, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Selain digunakan untuk menidurkan anak, dang-idang juga digunakan dalam permainan anak-anak, kadang juga untuk menyindir orang ada di sekitarnya. Terakhir, ibu Yeni mengajak para peserta seminar untuk terus melestarikan sastra tutur yang ada di Sumatera Selatan, agar tradisi ini tidak tergerus oleh zaman. Allah a’lam!