Kuliah Umum Fakultas Adab & Budaya Islam untuk Mahasiswa Baru
oleh Frida Amran, M.A
Yang terhormat siapa saja, adik-adik mahasiswa baru Fakultas Adab — IAIN Raden Fattah Palembang dan saudara-saudari sekalian, selamat pagi. Sekitar empat dasa warsa yang lalu, ketika saya masih kecil, orang biasa membuka sambutan dengan kata-kata di atas. Juga di Palembang. Dalam acara-acara resmi seperti ini, pembicara akan membuka uraiannya dengan menyebutkan satu-per-satu nama dan jabatan tamu yang hadir, dimulai dari orang yang dianggap paling penting dan diakhiri dengan hadirin lainnya yang disapa dengan: ‘saudara-saudari sekalian’.
Kini hal itu terasa aneh. Bahkan, ketika saya mengucapkan: “selamat pagi”, beberapa di antara yang hadir di acara ini mengangkat alis dan berpandang-pandangan dengan teman yang duduk di sebelahnya. Yang saya lakukan memang aneh. Barangkali sejak sekitar sepuluh atau lima belas tahun yang lalu, ritual pembuka itu berubah. Setelah menyebutkan nama dan jabatan yang hadir, pembicara meneruskan dengan: “Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh!
Beberapa tahun kemudian, terjadi perubahan lagi. Untuk menghormati hadirin yang tidak beragama Islam, ditambahkan pula sapa netral-agama: “Salam sejahtera untuk hadirin sekalian.”
Nah, saya mulai lagi. Yang terhormat siapa saja, adik-adik mahasiswa baru Fakultas Adab — IAIN Raden Fattah Palembang dan saudara-saudari sekalian, Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera untuk hadirin sekalian.
Ini hanya detil kecil dalam pola interaksi resmi, tidak hanya di Palembang, tetapi di seluruh nusantara. Namun dari detil kecil ini sudah tampak jelas adanya perubahan. Ada perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Perubahan salam yang diucapkan menunjukkan bahwa konstelasi agama dan kepercayan di dalam masyarakat kita sudah berubah sehingga norma dan tata-cara dalam kebudayaan, yang mengatur interaksi di antara anggota-anggota masyarakat, juga berubah.
Perubahan kebudayaan seperti ini terjadi secara berangsur-angsur, seringkali tanpa disadari. Tau-tau, suatu hari, ketika saya berbicara di depan cendekia dan calon-calon cendekia di IAIN Palembang, kita sama-sama menyadari bahwa perubahan sudah terjadi. Kebudayaan memang bukanlah sesuatu yang statis. Kebudayaan itu selalu berubah, cepat atau lambat, tanpa dapat kita hentikan.
Kalau memang kebudayaan akan, selalu dan pasti berubah, untuk apa melestarikannya? Percuma saja. Mungkin lebih baik dibiarkan saja. Tanggapan seperti itu memang ada benarnya. Akan tetapi, kebudayaan beserta ketujuh unsur-unsurnya (bahasa, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi sosial, sistem ilmu pengetahuan/kearifan dan sistem agama atau kepercayaan) merupakan ciri penunjuk dan pembentuk identitas yang membedakan kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain. Kebudayaan itulah yang menjadi penunjuk identitas kita sebagai orang Palembang, orang Batak, orang Jawa, orang Cina, orang Indonesia atau orang Malaysia. Kebudayaan itu pula yang menjadi sumber kebanggaan identitas etnik dan bangsa. Karena itu, walau memang senantiasa berubah, sedapat mungkin kita harus berusaha melestarikan kebudayaan dan tinggalannya. Tanpa ciri khas itu, kita akan kehilangan identitas sebagai orang Palembang, Komering, Kayu Agung, Besemah dan sebagainya.
Kalau kita ingin membicarakan pelestarian kebudayaan, terlebih dahulu sebaiknya dilihat faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan. Yang penting dan relevan untuk kita lihat adalah faktor kontak, komunikasi dan interaksi dengan budaya-budaya lain (di nusantara maupun mancanegara) dan faktor hilangnya atau berubahnya fungsionalitas suatu unsur budaya. Faktor yang pertama, kontak, komunikasi dan interaksi dengan budaya-budaya lain sangat berpengaruh di kota seperti Palembang. Kita tidak harus menunggu sampai ada pergantian generasi untuk menyaksikan terjadinya perubahan. Faktor yang kedua adalah berubahnya fungsi suatu unsur budaya. Bila adat, benda atau gagasan budaya tidak lagi dianggap memenuhi fungsi tertentu dalam masyarakat, maka ia akan menghilang dengan sendirinya karena tidak pernah lagi dilakukan, digunakan atau dipikirkan dan diingat.
Sebelum melanjutkan pembicaraan, saya ingin minta maaf karena tidak menyiapkan power point untuk hari ini. Saya hampir tidak pernah menyiapkan power point karena saya memang gagap teknologi. Sekarang ini hampir setiap diskusi, seminar dan sejenisnya dilengkapi dengan tayangan canggih berupa power point dengan ilustrasi yang relevan dan rentetan kata-kata yang berputar-putar cantik sebelum terpajang rapi di layar sehingga pendengar tidak hanya dipaksa mendengarkan saja tetapi juga dapat menonton dan menikmati tayangan di depannya. Tanpa tayangan itu, barangkali orang seringkali agak khawatir bahwa hadirin akan bosan, mengantuk atau bahkan tertidur. Mudah-mudahan tak ada yang tertidur mendengar suara saya pagi ini.
Manusia Indonesia—yang dulunya merupakan masyarakat pendukung tradisi lisan—kini sudah berubah. Sesuatu yang disampaikan secara lisan tidak cukup. Kita membutuhkan sentilan-sentilan visual. Kita membutuhkan alat-alat canggih untuk mengikat perhatian kita. Tanpa disadari, di sini pun telah terjadi perubahan budaya. Bukan hanya perubahan dari masyarakat berbudaya lisan menjadi berbudaya tulis dan visual, tetapi telah terjadi juga penyerapan benda-benda asing: computer, layar tayang dan segala tetek-bengek yang diperlukan untuk membuat sebuah tayangan power point. Para pakar akan mengatakan: sudah terjadi perubahan budaya dengan masuknya artefak baru. Artefak baru itu merupakan salah bentuk budaya kentara dalam kebudayaan manusia Indonesia kontemporer. Pun di sini, telah terjadi perubahan kebudayaan tanpa kita sadari.
Pada awalnya, perhatian pada masalah warisan budaya atau heritage dipelopori oleh para arsitek, ahli purbakala dan sejarah yang peduli dan perhatian pada monumen-monumen tua dan artefak purbakala. Pelestarian dan konservasi unsur-unsur budaya kentara atau kebendaan dapat dikatakan relatif mudah dilakukan. Dengan peraturan pemerintah dan pendanaan yang cukup, suatu monumen, candi atau artefak purbakala dapat dilestarikan walau tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Tentunya, pelestarian itu akan lebih berhasil bila masyarakat mendukung dan ikut berperan serta dalam usaha itu.
Lama-kelamaan orang mulai menyadari bahwa benda budaya seperti monumen dan artefak purbakala tidak akan lebih dari benda belaka bila tidak dilihat dalam konteks serta perangkat nilai dan gagasan kebudayaan yang memberi benda itu makna. Tanpa makna dan konteks sosial-budaya dalam sejarah masyarakatnya, benda-benda itu hanya akan seperti sebuah keong tanpa siput atau tubuh tanpa jiwa. Hanya benda mati saja.
Unsur-unsur budaya tak kentara, yang memberi makna dan konteks pada benda-benda itu, juga berubah dan bahkan dapat hilang sama sekali. Susahnya, pelestarian unsur budaya tak kentara tidak mudah dilakukan. Bahkan, tanpa peran-serta masyarakat pendukungnya, hal itu tak dapat dilakukan sama sekali. Kini banyak dijual majalah mode pakaian pengantin nusantara yang paling mutakhir. Berapa banyak pengantin perempuan yang lebih suka mengenakan baju pengantin nusantara, bermodel kebaya dengan bordir dan payet yang gemerlap serta selendang panjang yang dikaitkan di rambutnya seperti sleyer pengantin Eropa? Entahlah. Berapa banyak pula yang masih tertarik mengenakan busana pengantin tradisional dari daerah asal kebudayaannya? Tidak ada yang tahu. Tak ada peraturan atau orang yang dapat memaksa seseorang untuk mengenakan pakaian tertentu pada hari perkawinannya! Padahal kalau itu terus-menerus terjadi, mungkin lama-lama pakaian pengantin tradisional hanya akan dipakai oleh manekin di museum tekstil saja. Di sini, peran anda sekalian sebagai generasi muda Sumatera selatan sangat besar dan sederhana saja. Bila tiba waktunya menikah, pilihlah untuk mengenakan pakaian pengantin Palembang! Songket jauh lebih cantik dan keren daripada stelan jas dan gaun putih dengan sleyer yang menyapu lantai.
Seperti dinyatakan di atas, berubahnya atau hilangnya fungsionalitas suatu unsur budaya juga dapat mengubah atau bahkan menyebabkan unsur itu hilang sama sekali. Sebetulnya bila fungsi asli atau tradisional suatu unsur budaya kentara, menghilang atau berubah oleh kontak dan interaksi dengan kebudayaan dan masyarakat lain, kita dapat mencoba memberikan fungsi baru pada unsur itu untuk meng’hidup’kannya kembali. Lihat saja berbagai bangunan mewah yang dulu merupakan rumah tinggal pejabat-pejabat Hindia-Belanda di berbagai kota. Berapa banyak orang yang masih mau dan mampu tinggal di rumah seperti itu? Tidak banyak. Tetapi bila dibiarkan begitu saja, semua itu akan terlantar dan hancur tanpa perawatan yang baik. Untunglah, bangunan-bangunan itu kini hidup kembali dengan memberinya fungsi baru sebagai museum, restoran atau hotel yang eksotis. Tak jarang, di tempat-tempat seperti itu acap tampak dekor cantik dengan lumpang kayu yang tidak lagi dipakai untuk menumbuk beras, tetapi untuk diisi bebungaan yang cantik. Mengapa tidak?
Revitalisasi melalui rekacipta barangkali merupakan pendekatan yang sebaiknya lebih banyak digunakan dalam usaha pelestarian. Rekacipta fungsi seperti itu sebetulnya tidak hanya dapat diterapkan pada unsur-unsur budaya kentara saja. Ia juga dapat diterapkan pada pelestarian unsur-unsur budaya tak kentara. Kalau dulu pencak silat mungkin merupakan teknik beladiri semata, sekarang kegiatan itu juga dilakukan oleh orang-orang yang sekedar berkeinginan mengolah tubuh saja. Bila hal itu dapat dilakukan dan terjadi pada pencak silat, mengapa aneka tarian tradisional yang hampir punah tidak dapat diberi fungsi sebagai bentuk olah tubuh yang sekaligus menyehatkan badan dan indah dilihat?
Usaha pelestarian kebudayaan membutuhkan imajinasi, tidak hanya untuk merekacipta fungsionalitas, tetapi juga untuk menarik minat dan perhatian orang. Imajinasi itulah juga yang dibutuhkan untuk memasarkan dan menaikkan pamor unsur budaya yang dikhawatirkan akan menghilang.
Sebetulnya sebagai generasi penerus dan pewaris budaya Sumatera selatan dan sebagai pribadi-pribadi mandiri, anda sekalian wajib melakukan upaya-upaya di atas untuk melestarikan warisan nenek-moyang kita. Tetapi, sebagai calon cendekia Palembang ada kewajiban lain, yaitu meneliti, mempelajari dan meneruskan kearifan budaya kita. Akademika merupakan tempat yang tepat untuk melakukan hal itu.
Dalam perjalanan sebagai mahasiswa dan nanti, sebagai akademisi, anda sekalian akan meneliti tentang segala macam hal yang berkaitan dengan masyarakat dan budaya Palembang. Namun, penelitian lapangan saja tidak cukup karena data dari lapangan hanya dapat memberikan gambaran tentang masyarakat kontemporer dan situasi yang ada pada saat peneliti itu sedang di lapangan.
Pendekatan historis tak dapat dilakukan tanpa mengacu pada dokumentasi masa lalu. Di sini muncul kendala besar. Sebagian besar dokumentasi masa lalu nusantara tertulis dalam bahasa Belanda, sedangkan kini tak banyak lagi orang yang menguasai bahasa Belanda itu. Hal ini merisaukan karena itu berarti bahwa kita hanya dapat mengacu pada pustaka acuan tangan ketiga atau keempat—dengan segala bias penerjemahan dan interpretasinya.
Sejak tahun 2010, saya mulai menulis dan mengasuh rubrik ‘Palembang Tempo Doeloe’ di Harian Umum Berita Pagi, Palembang. Rubrik itu mengetengahkan artikel-artikel mengenai Palembang serta daerah dan masyarakat yang pada zaman Sriwijaya, Kesultanan Palembang Darussalam dan Hindia-Belanda dianggap menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Palembang.
Sejak awal tahun ini, saya mulai mengasuh rubrik kedua, “Lampung Tumbai” di harian Lampung Post. Seperti juga rubric Palembang Tempo Doeloe, Lampung Tumbai berisi artikel-artikel yang ditulis oleh orang Belanda pada abad ke-19 mengenai lingkungan alam, masyarakat dan kebudayaan Lampung.
Di dalam kedua rubrik itu saya sama sekali tidak membuat kajian sendiri. Saya hanyalah mencari, membaca dan menceritakan kembali apa saja yang ditulis oleh orang Belanda dari abad ke 17, 18 dan 19 mengenai Palembang dan Lampung. Sayangnya, walaupun kedua rubrik itu membuka akses informasi, artikel-artikel di dalamnya sebetulnya tidak dapat digunakan sebagai acuan penelitian sejarah.
Mengapa? Begini. Terkadang naskah berbahasa Belanda yang saya olah enak dan menarik dibaca. Akan tetapi, lebih sering, naskah-naskah itu terasa garing dan membosankan. Walaupun demikian, saya sendiri berpendapat bahwa menarik atau pun membosankan, semuanya sebaiknya diketahui dan dipahami oleh orang-orang Palembang yang menjadi sasaran pembahasannya. Oleh karena itu, terkadang saya menuliskan anekdot, cerita rakyat atau pikiran pribadi yang relevan dengan topik pembahasan supaya naskah membosankan itu lebih hidup. Hal itu juga sengaja dilakukan untuk menunjukkan bahwa sejarah dan kebudayaan merupakan bagian integral dari hidup kita sehari-hari. Kita semua, pada saat ini, detik ini merupakan pelaku sejarah sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah dan budaya masyarakat kita di masa lalu maupun di masa depan.
Sejarah sebagai suatu bidang ilmu mencatat dan menganalisis peristiwa-peristiwa yang (sudah) terjadi. Namun, sebetulnya penulisan sejarah bersifat teleologis dalam arti bahwa sejarah ditulis mulai dari titik sekarang dan melihat ke belakang—ke masa lalu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Para sejarahwan berusaha mengolah sebanyak mungkin data dan angka ke dalam pembahasan untuk menguatkan analisisnya. Memang ilmu pengetahuan harus dapat menarik abstraksi dan membuat generalisasi. Itu pula yang dituntut. Akan tetapi karena tuntutan itu, banyak informasi kesejarahan (sosial) yang menjadi pengetahuan marjinal karena dianggap terlalu rinci (Peter Hulme & Russel Mcdougall dalam Introduction: In the Margins of Anthropology).
Ahli sejarah, Taufik Abdullah, pernah mengatakan bahwa sejarah adalah rentetan peristiwa yang akhirnya menimbulkan peristiwa besar tertentu. Tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau, saya tidak sepenuhnya setuju. Apabila hanya peristiwa besar saja yang dianggap sebagai ‘sejarah’, maka manusia-manusia yang menjadi pelakunya menjadi suatu massa anonym yang teramat jauh dari kita sendiri. Identitas dan pengalaman hidup pribadi-pribadi di dalam rentetan peristiwa itu lenyap dan menjadi dianggap penting.
Saya akan menutup uraian ini dengan sebuah cerita. Pertengahan abad ke-16, seorang Belanda bernama John Huygens van Linschoten ikut berlayar dengan kapal Spanyol menuju India. Ia menuliskan catatan perjalanannya dari hari ke hari dengan rinci dan deskriptif. Dengan kata lain, ia membuat catatan harian. Pada tahun 1595 dan 1596, catatan-catatannya dicetak menjadi dua jilid buku tebal-tebal berjudul Itinerario.
Ketika buku itu menyebarluas di Negeri Belanda, imajinasi dan keinginan bertualang pembaca-pembacanya mulai berkobar. Dokumentasi perjalanan van Linschoten yang begitu rinci membuat para pemilik modal dan pedagang-pedagang Belanda mengirimkan kapal-kapal ke India. Setiap kapten di kapal-kapal itu menyimpan dua jilid Itinerario di atas kapalnya sebagai pedoman perjalanan. Setiap kapten dan perwira di kapal-kapal itu diwajibkan (oleh VOC) membuat dokumentasi perjalanan yang rinci. Persis seperti yang dilakukan oleh van Linschoten. Di akhir setiap perjalanan, catatan para kapten itu harus diserahkan ke kantor pusat VOC supaya dapat dipakai sebagai pedoman oleh kapten kapal-kapal berikutnya.
Beberapa tahun kemudian, buku Itinerario diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Tidak berbeda dengan pembaca di Belanda, semangat bertualang mencari harta di belahan timur bumi mulai berkobar di antara pembaca, pemilik modal dan pedagang Inggris. Seperti juga orang Belanda, orang Inggris lalu memberangkatkan kapal-kapal dagangnya menuju Asia.
Bayangkan kekuatan retorika John Huygens van Linschoten dalam Itinerario! Bayangkan pula pengaruhnya pada kita, orang Indonesia masa kini. Buku itu menjadi pemicu berdirinya Verenigde Oost-Indie Compagnie dan British East-India Company yang berlayar, berdagang dan menjajah hampir seluruh wilayah Asia-Tenggara. Seandainya saja John Huygens van Linschoten tidak menuliskan dan menerbitkan catatan perjalanannya, seandainya saja ia tidak menulis dengan gaya yang membakar imajinasi dan semgat bertualang pembacanya, barangkali tanah air kita tidak menjadi korban penjajahan Belanda dan Inggris!
Walaupun penelitian lapangan dan data yang diperoleh dari penelitian lapangan itu dianggap teramat penting oleh antropologi, data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis (dari para pelancong, pedagang, penjajah dan penyebar agama tadi) tetap berperan dalam penulisan sebuah etnografi dan tulisan antropologi lainnya. Hanya saja sumber-sumber tertulis itu dianggap sebagai data sekunder. Buku harian, laporan perjalanan, laporan colonial, puisi, cerita pendek, novel dan otobiografi mengandung kekayaan etnografis yang luar biasa. Selain menggambarkan situasi dan keadaan pada masa penulisannya, tulisan-tulisan itu menggambarkan juga sikap dan pandangan penulis dan masyarakat di tempat dan waktunya hidup.